Senin, 24 Desember 2012

Asal Mula Bahasa INDONESIA





Bahasa Indonesia mempunyai sejarah jauh lebih panjang daripada Republik ini sendiri. Bahasa Indonesia telah dinyatakan sebagai bahasa nasional sejak tahun 1928, jauh sebelum Indonesia merdeka. Saat itu bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa persatuan dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai perekat bangsa. Saat itu bahasa Indonesia menjadi bahasa pergaulan antaretnis (lingua franca) yang mampu merekatkan suku-suku di Indonesia. Dalam perdagangan dan penyebaran agama pun bahasa Indonesia mempunyai posisi yang penting.

Deklarasi Sumpah Pemuda membuat semangat menggunakan bahasa Indonesia semakin menggelora. Bahasa Indonesia dianjurkan untuk dipakai sebagai bahasa dalam pergaulan, juga bahasa sastra dan media cetak. Semangat nasionalisme yang tinggi membuat perkembangan bahasa Indonesia sangat pesat karena semua orang ingin menunjukkan jati dirinya sebagai bangsa.

Pada tahun 1930-an muncul polemik apakah bisa bahasa Indonesia yang hanya dipakai sebagai bahasa pergaulan dapat menjadi bahasa di berbagai bidang ilmu. Akhirnya pada tahun 1938 berlangsung Kongres Bahasa Indonesia yang pertama di Solo. Dalam pertemuan tersebut, semangat anti Belanda sangat kental sehingga melahirkan berbagai istilah ilmu pengetahuan dalam bahasa Indonesia. Istilah belah ketupat, jajaran genjang, merupakan istilah dalam bidang geometri yang lahir dari pertemuan tersebut.

Bahasa Indonesia diresmikan pada kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1945. Bahasa Indonesia adalah bahasa dinamis yang hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing. Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu. Fonologi dan tata bahasa dari bahasa Indonesia cukuplah mudah, dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan sebagai pengantar pendidikan di sekolah di Indonesia.

Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern, paling tidak dalam bentuk informalnya. Bentuk bahasa sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis ini sangat lentur sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang digunakan para penggunanya.

Bentuk yang lebih formal, disebut Melayu Tinggi, pada masa lalu digunakan kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Malaya, dan Jawa. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif bahasa Melayu Pasar.

Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kelenturan Melayu Pasar mengancam keberadaan bahasa dan budaya. Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan bahasa Melayu Tinggi, di antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi bahasa Melayu Pasar sudah terlanjur diadopsi oleh banyak pedagang yang melewati Indonesia.

Penyebutan pertama istilah “Bahasa Melayu” sudah dilakukan pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuna dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa atas perintah raja Sriwijaya, kerajaan maritim yang berjaya pada abad ke-7 dan ke-8. Wangsa Syailendra juga meninggalkan beberapa prasasti Melayu Kuna di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.

Karena terputusnya bukti-bukti tertulis pada abad ke-9 hingga abad ke-13, ahli bahasa tidak dapat menyimpulkan apakah bahasa Melayu Klasik merupakan kelanjutan dari Melayu Kuna. Catatan berbahasa Melayu Klasik pertama berasal dari Prasasti Terengganu berangka tahun 1303. Seiring dengan berkembangnya agama Islam dimulai dari Aceh pada abad ke-14, bahasa Melayu klasik lebih berkembang dan mendominasi sampai pada tahap di mana ekspresi “Masuk Melayu” berarti masuk agama Islam.

Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Biasanya masih digunakan bahasa daerah (yang jumlahnya bisa sampai sebanyak 360).

Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara Indonesia pascakemerdekaan. Soekarno tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu), namun beliau memilih Bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari Bahasa Melayu yang dituturkan di Riau.

Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:

1. Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di Republik Indonesia.

2. Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.

3. Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Maluku, Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhir pun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca, Bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Cina Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.

4. Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia Tenggara.

Dengan memilih Bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu lagi seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan. Bahasa Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian distandardisasi (dibakukan) lagi dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini sudah dilakukan pada zaman Penjajahan Jepang.

Mulanya Bahasa Indonesia ditulis dengan tulisan Latin-Romawi mengikuti ejaan Belanda, hingga tahun 1972 ketika Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dicanangkan. Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin dibakukan.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar